Demi Anak

Ramai wanita hari ini mengambil kata mudah ‘demi anak anak’ untuk tetap berjuang dengan alam pernikahan mereka yang sudah tidak terlihat sinar bahagia.

Ada yang tertipu menjadi isteri kedua, ada yang tidak diberikan nafkah, dipukul dan dizalimi oleh sang suami tapi masih sanggup menjalani bahtera yang hampir karam. Demi anak!

Wallahi, aku merasa saat ibuku mengambil keputusan untuk tetap bersama ayah dan berkata ‘demi anak anak ibu’. Terus aku nanya, berkata benar bu apa kamu masih cinta sama ayah?

Kalau benar ibu cinta, kami tiada hak untuk memaksa ibu untuk dilepaskan. Kami tahu itu hak ibu. Dia suami dan kamu berhak atas pernikahan kalian. Namun alasan demi anak, demi kami benar benar menjadi asbab aku kecewa.

Ibu menatap aku, matanya merah lalu berkata,‘ibu lakukan semua ini demi anak anak ibu’ lagi dan lagi. Aku sakit mendengarkan alasan itu. Beerti ibu sanggup sengsara demi kami bahagia. Bahagia yang bagaimana, kok hari hari yang kami lalui adalah keluhan, cemuhan, herdikan ibu pasal ayah.

Bukan ibu saja penat, kami juga penat. Bila kami kata cerailah. Ibu diam. Percaya atau tidak, kamu sedang merosakkan agama dalam diri. Kamu tak mampu melakukan ketaatan dalam aman bu.

Ibu, kalau benar ibu khawatir kami bakal dikatakan tidak punya ayah seperti orang lain maka sesungguhnya bu, kami okay dengan ibu menjadi Ibu dan ayah kepada kami.

Ibu, buat apa dikatakan punya ayah tapi ayah langsung tidak menghiraukan kami, tidak memberi nafkah kepada kami, tidak memberikan didikan agama kepada kami. Sampai ke hari ini juga semua itu hanya ibu yang lakukan sendirian. Aku nanya sekali lagi bu, apa status ini yang membuatkan kamu tetap disitu?

Ibu, sedarkah kamu akan perubahan kami yang makin hari makin terganggu akan emosi dek melihat layanan ayah kepada kamu dan layanan kamu kepada ayah. Tidak apa yang lebih menyakitkan kami daripada melihat kamu terseksa. Ibu, kami tahu ibu tidak okay.

Maka dengan keadaan tidak okay ibu, mampukah kami sebagai anak untuk okay sahaja? Kami melihat dan kami menilai. Saban hari ibu, bukan lagi kebahagian tapi kebenciaan yang memenuhi dada kami. Benci. Dendam.

‘Aku ada bu, aku akan menyokongmu, bersama kamu hingga akhirnya. Itu aku janji’- bukan lagi pujuk tapi rayu aku berkali kali. Adek adek aku nanges sepi. Adek kedua bongsu turut bersuara. Adek bongsu datang memeluk. Lihat bu, ibu mungkin boleh berlakon kuat, tapi kami tidak bu. Kami sakit.

Ternyata itu adalah pujukan kami yang terakhir. Saat Ibu tetap memilih disitu. Disamping suaminya. Akhirnya kami memilih jarak. Demi iman kami. Moga jarak ini membuah doa dan rindu, membenam benci dan dendam.

Nikah adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hanya salah satu jalan. Bila nikah yang kita lalui saat ini tak lagi menjadi salah satu jalan untuk dekat dengan Allah, kenapa harus kita berada diatas jalan ini?

Teman, pernikahan itu menyempurnakan separuh daripada agama. Sedang separuh lagi adalah taqwa. Murabbi kami pernah berkata, tidak berkurang sedikitpun nilaian taqwa pada diri seseorang yang tak berkahwin dengan yang berkahwin. Pesan aku ringkas, tahu dan jelas matlamat kenapa kalian nikah.

Dan Ibu, paling penting bukan menyelamatkan rumahtangga tapi menyelamatkan iman. Sayang ibu.

– SAO (Bukan nama sebenar)

Hantar confession anda di sini -> https://iiumc.com/submit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *